Cerita dari Kampung Halaman
Kamis, 30 september 2010 seorang kawan mengajak penulis untuk menyambangi kota kelahiran, Ciamis pada jum’at, 1 oktober 2010, atau kesesokan harinya. Tujuannya adalah untuk sharing atau melakukan komunikasi intens dengan seorang pucuk pimpinan DPRD kab. Ciamis. Melalui berbagai pertimbangan yang cukup alot, mengingat keesokan harinya juga penulis mempunyai janji dengan seorang kawan di sebuah organisasi penulisan untuk meluruskan dan mengatur sebuah acara besar yang akan segera dilaksanakan. Akhirnya, setelahnya berdiskusi dan meminta saran, dengan kebesaran hati kawan penulis di organisasi tersebut mengizinkan penulis untuk berangkat, bersua dengan kampung halaman dan sekaligus berbincang ria dengan pimpinan dewan.
Bis pukul 22:00 pun menjadi pilihan kami. Setelah menghabiskan waktu beberapa jam, kami tiba di tempat istirahat, daerah Karang Gedang Ciamis, pukul 05:00 dini hari, sebuah perjalanan yang cukup panjang dan menguras energi.
Tiba di tempat peristirahatan, badan yang terasa lunglai segera saja diistirahatkan tentunya setelah melakukan shalat subuh terlebih dahulu. Hujan yang turun rintik-rintik seolah menghantarkan dan melenakan kami yang tengah beristirahat.Waktu pun menunjukan pukul 09:30 pagi. Sebelum pertemuan inti, kami, perwakilan mahasiswa Ciamis di antaranya yang ada di Yogyakarta, Purwokerto, Bandung, dan Jabodetabek atau dikenal dengan paguyuban Galuh Rahayu, Galuh Pamitran, Galuh , dan Galuh Jaya akan melalukukan briefing pada pukul 10:00 di mesjid agung Ciamis.
Entah kerena karakter orang Indonesia yang selalu “ngaret” waktu, pukul 10:00 yang rencananya akan mengadakan briefing urung dilaksanakan karena belum ada perwakilan mahasiswa kecuali dari Galuh Jaya (Jabodetabek). Akhirnya saya dan kawan menyempatkan waktu untuk berkunjung ke salah seorang Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah sekedar untuk melakukan silaturahmi dan sekalian masih dalam kondisi lebaran. Asyik berbincang, terutama terkait Ciamis, tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 11:00. Karena akan melakukan shalat jum’at akhirnya kami pun bergegas kembali ke mesjid agung Ciamis yang memang jaraknya tidak terlalu berjauhan.
Selesai menunaikan ibadah shalat jum’at jamuan makan siang di sebuah rumah makan sudah menanti. Acara makan siang berjalan seraya perkenalan dan pengakraban diri dengan paguyuban dari daerah lain. Makanan yang disajikan termasuk wah karena disajikan khusus di ruang atas dengan konsep prasmanan. Padahal, jika pembeli biasa dilayani di lantai bawah.
Pukul 14:00 acara audiensi atau tepatnya penulis kira hanya sebagai bincang-bincang hangat orang tua kepada anaknya. Pembicaraan yang dilakukan memang dilakukan secara informal di ruang salah seorang pimpinan DPRD kab. Ciamis. Berbagai persoalan terkuak, namun pada intinya, acara yang dilakukan tersebut merupakan awal dari silaturahmi yang akan dijalin paguyuban mahasiswa Ciamis yang berada di luar daerah.
Yang menarik buat penulis, dalam kesempatan tersebut penulis melontarkan beberapa pertanyaan khususnya seputar Ciamis menyangkut sosial, budaya, pendidikan dan kesejahteraan. Ciamis bukanlah daerah yang kaya akan kebudayaan. Kerajaan Galuh pernah gagah berdiri di tanah Ciamis. Namun kemana bukti keberadaan kerajaan itu? Itu lah yang menjadi persoalan lain. Bukan tidak ada bukti-bukti peninggalan kerajaan Galuh. Sebagaian kecil memang tersebar di berbagai tempat seperti di “Bumi Alit” situ Panjalu. Sebagaian lagi ada di berbagai tempat lain.
Pertanyaan besar penulis pada waktu itu, kenapa peninggalan-peninggalan tersebut tidak dimusiumkan? Ternyata memang kesadaran yang rendahlah yang menyebabkan semua itu tetap berada di tempat terbatas atau bahkan di rumah pribadi seorang yang mengaku sebagai keturunan Raja Galuh. Yang jelas, sebagai rakyat jelata prihatin atas semua yang terjadi tersebut lantaran sebenarnya peninggalan budaya tersebut adalah milik seluruh warga, bukan sekelompok kecil golongan.
Diskusi pun berjalan dalam suasana hangat dan menyenangkan. Gaya diskusi mahasiswa yang kritis menjadi hal yang mewarnai diskusi tersebut. Pada intinya, masih banyak hal yang perlu dibenahi untuk menjadikan Ciamis labih maju.
Bincang-bincang pun berakhir pada pukul 15:30, namun kami, perwakilan mahasiswa dari beberapa daerah, Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, dan Purwokerto melanjutkan pertemuan untuk membincangkan beberapa rencana strategis yang akan dilakukan bersama sebagai sumbangsih bagi Ciamis dan seluruh masyarakatnya. Pukul 17:00 pertemuan pun usai.
Setelah berisitrahat dan melaksanakan shalat maghrib dan Isya di rumah salah seorang teman, penulis beranjak pamit untuk segera menuju Jakarta karena keesokan harinya, Sabtu, akan mengikuti perkuliahan dan ada beberapa rencana yang akan dilakukan.
Memang sudah takdir, karena penulis kira di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Di dalam bis penulis bersandingan duduk dengan seorang tunanetra. Sang tunanetra ini menceritakan bahwa selama seharian dia belum mendapatkan penghasilan sama sekali. Bapak ini berprofesi sebagai tukang pijat. Pada saat itu pukul 20:00. Dengan keberaniannya dia pun berangkat ke tempat lain berharap mendapat penghasilan dari keahlian mijatnya. Tunanetra ini rupanya sudah sering sekali bulak-balik ke luar kota sehingga supir bis dan seluruh kondektur mengenalnya, penulis kira ini merupakan bagian dari interaksi desa yang peduli dan saling mengenal satu sama lain.
Rupanya Bapak ini memiliki pendirian yang teguh. Walaupun dengan keterbatasan fisik yang ada, dia tidak ingin menjadi seorang peminta-minta. Bapak ini pun memiliki pemahaman agama yang mendalam, terbukti dari bincang-bincang dengan penulis seputar kegamaan. Setiap orang memiliki kelebihan masing-masing. Bapak ini sangat tenang sekali, tidak nampak kegelisahan sedikitpun walaupun sedang ada dalam kesulitan seperti itu. Pemahaman keagamaan dan keyakinannya kepada Yang Maha Kuasa lah yang membuat ia seperti itu.
Dalam suasana perbincangan yang hangat sambil diselingi cerita-cerita yang menyentuh sanubari, Bapak ini member pesan yang sederhana namun mengandung makna yang sangat dalam: “Tong tikolesed pena”, jangan salah menggerakan pulpen, kira-kira seperti itu arti bebasnya. Memang banyak orang pintar, namun untuk menjadi seorang yang pintar namun bertanggung jawab dengan kepintarannya rupanya ini yang menjadi persoalan. Pulpen atau pena sebagai lambang kepintaran, rupanya terkadang membuat seseorang terlena dan menyalahai apa yang harus dilakukannya. Dalam hati, penulis terkagum, betapa hikmah bisa bersumber dari mana saja. Tidak ada rasa penyesalan atau pengharapan belaskasihan dari keadaan Bapak ini yang penulis rasa ‘apa adanya’. Betapa keterbatasan yang dimiliki menjadikannya seorang yang kaya akan ilmu dan kebijaksanaan. Terimakasih Bapak atas ilmu dan pesan yang telah dititpkan. Lewat guratan pena ini, semoga pesan yang disampaikan tetap terjaga dalam sanubari untuk selanjutnya menjadi modal seandainya Allah berkenan nanti menjadikan penulis seorang yang memiliki kekuasaan lebih daripada orang lain. Amin.
Aamiin... Semoga saya juga kejipratan hikmahnya kak
BalasHapus