MENELUSURI JEJAK KOTA TUA JAKARTA

Minggu, 07 maret 2010, seorang teman dekatku melangsungkan resepsi pernikahan di bilangan Pasar Senen, Jakarta Pusat. Sebagai sesama alumni pondok, saya dan teman-teman alumni lainnya menyambangi kediamannya untuk sekedar mengucapkan selamat atas pernikahannya. Dengan menyewa sepeda motor, saya dan teman-teman pun berangkat menuju Jakarta Pusat.
 
Teriknya kota Jakarta memang sedikit menggoyahkan lidah kami mengeluarkan lelucon lelucon konyol untuk menghibur diri yang tengah disengat panasnya terik mentari kota Jakarta. Perajalanan dari Ciputat ke Jakarta Pusat cukup memakan waktu agak lama karena kami mengendarai motor pelan-pelan. Maklum, motor yang saya kendarai adalah motor sewaan dengan keadaan yang tidak prima dan pajaknya sudah mati. Saya ingat, bahkan step belakang sebelah kiri tempat menahan kakipun tidak ada. Untungnya, teman yang saya bonceng tidak ngomel bahkan dengan asyiknya mendedahkan kaki dekat rantai motor. Satu yang saya takuti, kena tilang polisi. Saya punya pengalaman tidak enak dengan aparat yang satu ini. Pukul 12.30 saya dan teman-teman baru tiba di Jakarta Pusat.

Selesai menghadiri resepsi pernikahan, kami pun meneruskan perjalanan mengunjungi kota tua Jakarta yang tidak begitu jauh jaraknya. Cukup setengah jam kami sudah sampai di lokasi tujuan. 

Inspirasi yang muncul ketika melihat kota tua Jakarta adalah sebuah pemandangan di Piazza San Marco di Venesia, Italia, yang saya lihat beberapa hari sebelumnya di sebuah harian nasional. Tapi impian saya tak berdetik buyar kala memandang begitu tidak terawatnya warisan budaya ibu kota ini. Di setiap sudut, pedagangan dengan seenaknya memarkir gerobak, sampah pun berserakan di mana-mana layaknya pasar tradisional yang identik dengan sampah berserakan. Tempat parker yang disediakan pun nampaknya tidak teratur, bahkan tempat yang semestinya bisa dinikmati dengan nyaman malah digunakan untuk tempat parkir.

Lebih ironis lagi, cagar budaya yang sejatinya dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat dengan keindahan dan kenyamanan, dengan seenaknya dinodai oleh seorang remaja yang mengendarai sepeda motor dengan suara bising. Padahal, tempat itu ada tepat di tengah taman Kota Tua yang sedang dikerumuni orang banyak. Jauh sekali dari pemandangan Piazza San Marco di Venesia, yang terlihat bersih, tertatat, kursi berjajar rapi di samping taman sedangkan di tengah taman ratusan burung merpati bercengkrama ria dengan para pengunjung. Satu hal kesamaan antara Kota Tua di Jakarta dengan Piazza San Marco di Venesia, yaitu bangunan yang ada sama-sama tua. 

Mungkin hanya sebagian yang memandang hal ini penting untuk dikupas. Keadaan di atas cermin dari bangsa kita yang masih jauh dari kesejahteraan. Kemiskinan masih menjadi pakaian bagi sebagian bersar warga. Pendidikan masih menjadi barang langka bagi sebagian masyarakat Indonesia, hiburan yang berbasis budaya dan keilmuan pun masih dihiraukan lantaran tradisi keilmuan yang masih jauh panggang dari api.

Jika di ibu kota demikian adanya? Bagaimana dengan daearah lain di tanah air tercinta ini? (*)

Komentar

  1. Kasian banget ni bocah, jauh2 dari Ciamis ke kota tua cuma liat tukang parkir ama pedagang yang nyampah . .

    Di ibukota boleh lah begitu, tapi anda harus tau, anda tau Depok kan??!! Di Depok itu mmmm . . Lebih parah. haha :D

    BalasHapus
  2. Saudara Gufron, tolong dikonfirmasi undangan kami untuk berkontribusi di sini. Terima kasih!

    BalasHapus

Posting Komentar

Teman-teman, setelah berkunjung silahkan tinggalkan komentar di sini! Trima kasih.

Postingan populer dari blog ini

CELOTEH MALAM

MENEMUKAN RESEP KEHIDUPAN

Cerita dari Kampung Halaman